“Paris, Brussel, aku mau skip aja..”
Gitu kayanya sih yang saya bilang ke suami pas merakit itinerary ke Eropa yang jadwalnya mepet pisan. Ceritanya jadwal berangkat mid April 2019, tiket baru issued awal Maret 2019. Ngeri-ngeri sedap ya kan?. Tapi waktu itu sih pasrah aja kalau gak jadi jalan karena visa gak approved atau hal lain, kita anggep bukan rejeki aja dan bukan izin Allah ke Eropa *mendadak mamah dedeh. Untuk lama perjalanan 16 hari, kayanya kok sayang kalau cuma sebentar di setiap kota, saya lebih suka destinasi tidak begitu banyak tapi lama di satu kota, daripada dapet banyak kota tapi cuma sebentar-sebentar. Jadi yang kepikiran, Paris dan Brussel harus direlakan.
Kenapa mau skip Paris?
Gak tau kenapa, Paris bukan dream destination atau bucket list saya. Jadi pas tau landing di Paris ya gak ada ekspetasi apa-apa, maksudnya mau-mau aja tapi saya lebih excited explore ke kota lainnya di Eropa selain Paris. Mungkin karena keseringan baca travel blog idealis yang bilang ‘Paris tuh overrated!’ , atau kata beberapa orang bilang ‘orangnya sombong-sombong..’ dan lain-lain dan lain-lain. Jadilah saya gak pernah punya ekspetasi apa-apa tentang Paris. Pakcik suami yang sudah beberapa kali mencicip Paris bilang “tapi sayang lho, landing kan emang di Paris, masa iya gak mampir ke Eiffel?”. Sepertinya rute tiket promo ini memang menjodohkan saya dengan Paris.
Bhaiqlah, let’s give it a try!
Hotel dan Penginapan di Paris
Drama pemesanan hotel pun dimulai, dengan rentang waktu sempit, kita ‘dipaksa’ untuk book hotel-hotel demi dapat dokumen konfirmasi hotel sebagai pelengkap aplikasi visa Schengen. Setelah muter-muter di google, baru tau kalau Paris itu terbagi ke beberapa wilayah yang disebut Arrondissement atau sering disingkat “Arr”. Gak nanggung-nanggung, ada 20 Arr yang bikin kita kaya itung kancing pas mau booking hotel. Paling enak sih emang di 1st Arr, karena di sini pusatnya kota Paris yang deket dari Louvre Museum & Pyramid, Pont des Art, Rue de Rivoli dll. Bisa dilihat di google map yang udah terbagi ke 20 Arr. Nah, sedangkan untuk letak Eiffel itu ada di 7th Arr. Saya gak hafal sih tempat-tempat wisata lainnya termasuk ke Arr mana, tapi untuk mempersingkat waktu dan setelah mempertimbangkan penghematan dalam biaya transport, kami langsung lah dengan gaya milih di 1st Arr.
Melihat kesesuaian dengan itinerary saya di Paris yang singkat, kayanya 1st Arr emang cocok. Tapiiii.. bah hotel mahal-mahal kali puuun T_T sekejap dompet rakyat jelata ni menolak mentah-mentah. Terlebih lagi di tanggal kita mau book itu awal liburan paskah, jadilah makin drama fullnya hotel-hotel. Ada kali sekitar tiga hari saya melototin list-list hotel dan zoom google map gede-gede demi ketemu hotel yang masih available dengan harga gak terlalu mahal. Ketemulah hidden gem yang masuk ke area 2nd Arr tapi gak jauh dari 1st Arr, yaitu Hotel Vivianne. Untuk pemilihan wilayah sih, tergantung preferensi masing-masing ya, lebih enak lagi kalo ngana liburannya ala crazy rich asians, bisa sambil merem milih menginap di hotel yang pas buka jendela langsung pemandangan menara Eiffel, beuh!.
Hotel Vivianne itu deket banget sama beberapa spot wisata yang bisa ditempuh dengan jalan kaki aja dari hotel yaitu Galaries Lafayette cuma 500 meter (ya 500 meter s/d 1km di luar negeri jalan kaki mah deket ya, kalo di Jakarta mon maap kita sukanya nek bajaj atau gojek aja :P), Sephora (hahaha), Grevin Museum, Hard Rock café, Opera, ke Louvre sama Notre Dame aja pun kita jalan kaki dari hotel. Nah, sing paling penting, hotelnya deket sama metro station. Hotel Vivianne ini ada tiga pula stasiun metro terdekatnya yaitu Stasiun Metro Richelieu Drouot, Stasiun Metro Grands Boulevards dan Stasiun Metro Bourse. Jadi waktu di Paris itu, lumayan banget saya menghemat transport, karena naik metronya kalau ke Eiffel aja sama pas malem-malem dari Bastille ke hotel. Lainnya dari itu, semua destinasi saya tempuh pake kaki (yang sekarang lagi bekonde).
Untuk review hotel Vivianne secara lengkap terasah dan tajam, ku tak bahas di sini ya, mohon dipersilahkan saja lengkapnya ke booking.com atau tripadvisor. Kalau singkatnya aja pengalaman kemarin di Vivianne tuh staff nya ramah, super baik dan helpful. Kamar sisa yang kecil. Saking kecilnya, saya dan pakcik suami rebutan space buat buka koper :D. Palagi kamar mandinya, kayanya kita mandi udah kaya pasukan paskibraka yang takut disetrap kakak kelas, tegap-tegap gitu ga bisa banyak gerak. Oh, lebih lucu lagi liftnya, yang buat saya lagi menuju subur ini fisiknya (baca: menuju dugong size), sempit kalii makcik! Cuma muat 1 orang, sama koper ukuran gede 1. Literally! :))) , kita sampe syedih banget pas masuk lift harus gantian dulu, kalau di Jakarta kan biasanya bar-bar ya kita masuk lift. Tapi, bagaimanapun keadaaanya, saya sih tetap suka sama Hotel Vivianne, karena strategis adalah ‘koentji’!
Karena waktu itu kita pesan hotel yang biasa-biasa aja, 1 lagi concern kita lainnya selain harus dekat stasiun metro adalah make sure kalau hotelnya itu punya lift. Terutama buat penginapan non hotel seperti Air B&B, mendingan cek lagi aja ada liftnya atau engga, kalau bawa koper segede bagong kaya saya kan males juga ya, kayak lagi latihan gym bukan liburan.
Kemana aja di Paris?
Karena cuma dua hari, ya seharusnya bisa dapet lumayan sih destinasnya, tapi saya putuskan ke Eiffel aja dan Louvre. Namun, eh ternyata Notre Dame dan Pont des Art pun deket, jadi sekalian. Lainnya saya relakan skip.
EIFFEL TOWER
Saya gak pernah punya mimpi bisa lihat Eiffel. Entahlah kenapa. Mungkin karena dirasa ‘terlalu dongeng’ wkwk #apalah. Zaman temen-temen saya udah bolak-balik ke Eropa, kayanya saya ini jauh-jauhnya malah punya mimpi naik balon udara di Cappadocia atau naik onta di Petra. Walau demikian, ternyata saya tetap amazed lho waktu liat Eiffel. Bayangin aja itu bangunan besi segede itu udah dibangun dari tahun 1887, dan sekarang masi cakep banget kondisinya. Terlebih waktu dibangun pada masanya, teknologi kan belum kayak sekarang. Duh, orang dulu tuh hebat-hebat juga ya. Sempet bergumam, akhirnya liat juga salah satu icon terkenal di dunia dalam bentuk sesungguhnya yang tadinya cuma bisa saya liat versi gantungan kuncinya, atau di pelem-pelem, atau dulu-dulu cuma bisa liat gambarnya di tas-tas sablonan Eiffel.
Setelah saya blog walking, spot paling laris menikmati Eiffel Tower itu dari Trocadero dan Champ De Mars. Saya sendiri pertama memilih turun di station Metro Trocadero. Di sini cendol gan, alias rame pisan. Tapi, kayanya Eiffel sih gak pernah sepi. Kalau mau foto bagus kaya di instagram itu, kudu sabar nyari spot yang dirasa paling oke atau sekalian bangun tidur masi belekan nunggu sunrise di Trocadero. Mantepp. Di Trocadero juga laris sebagai tempat foto pre wedding, karena dapet view Eiffel yang utuh dan sejajar.
Saya juga sempat naik ke Eiffel, tapi cuma sampai lantai 2 aja. Tapi walau lantai 2, lumayan tinggi juga kok. Tiketnya saya beli online waktu masih di Jakarta, beli di sini https://www.toureiffel.paris, menurut pakcik suami, kalau tiket beli on the spot bakalan antri banget, yang ternyata bener juga. Beli online juga cepet sold out ternyata, karena saya gak dapat di waktu yang saya mau, akhirnya dapat yang jam 19.30. Waktu beli tiket, ada pilihannya mau naik ke lantai 2 dengan tangga atau dengan lift. Mengingat perjalanan di Eropa masih 15 hari lagi, udah zelasss saya pilih naik lift.
Sampai di lantai 2 kebetulan pas sunset (waktu itu sunset jam 20.30), ambience pun langsung berubah ala settingan di pelem-pelem romantis, karena banyak pasangan saling merangkul bahkan berciuman sambil menikmati matahari terbenam di kota Paris dari lantai 2 Eiffel Tower. Di lantai 2 ini juga ada toko souvenir dan kayanya sih semacam snack store atau (mungkin) restoran? Karena pakcik suami sempet hilang di lantai 2, ternyata dia beli semacam macaroons bergambar paris di snack storenya wkwk.
Selesai di lantai 2, kami kemudian santai aja di sekitar Eiffel sampai malam. Lucunya kota Paris itu, banyak banget carrousels atau merry go round nya, atau orang bekasi bilang, komidi puter :D. Konon katanya ada sekitar 20 carrousels di Paris. Di sekitar Eiffel aja saya nemu dua. Saya yang receh ini kan happy banget liat kerlap kerlip carrousels berlatar belakang menara Eiffel macam di film. Sempet pengen banget naik terus minta direkam video slow motion ma pakcik *hahaha, tapi malu waktu itu yang naik anak kicik semua -_-. Jadi saya kandaskan saja niat saya yang receh itu. Akhirnya kami ngopi-ngopi beku di sekitar Eiffel dengan latar belakang Eiffel yang kalau malam kedip-kedip manja lampu-lampunya. Menurut saya, Eiffel itu selalu fotogenic dalam berbagai suasana, siang, malam, sedang berkabut, mendung, cerah, salju. Dia bagaikan primadona yang tak habis-habis pesonanya.
Katanya, di Eiffel itu bawaannya jadi romantis? Ya tergantung sih, kalau kamu masuk ke dalam rombongan tour yang cuma foto-foto sebentar trus ciaaoo Bella!, saya gak yakin apa iya bisa kerasa romantis heuheu. Mungkin karena perpaduan Eiffel dan kota Paris yang terlanjur mendapat atribut romantis, kayanya orang-orang ya gitu deh bawannya. But, yes, kami cukup menikmati berlama-lama di sekitar Eiffel, liatin orang foto-foto, liatin orang kasmaran sambil selfie, liat orang pre-wedding, duduk-duduk di Trocadero sambil ambil-ambil video, dengerin orang main gitar nyanyi lagu romantis di Trocadero, menikmati sunset, menikmati pemandangan bunga-bunga bermekaran yang sukses membingkai Eiffel dengan cantik, menghangatkan diri sambil ngopi dengan pemandangan kerlap kerlip Eiffel di malam hari. I can say, Eiffel sukses menjadi pembuka perjalanan Eropa kami.
LOUVRE MUSEUM
Sebenernya lebih pengen explore Louvre dari pada tempat yang lainnya di Paris. Apalagi kalau bukan karena Dan Brown dalam novelnya yang berjudul Da Vinci Code, yang waktu itu sempet membuat saya terkedjoet-kedjoet waktu membacanya, begitu menegangkan dan seru!. Waktu tau Da Vinci Code bakal dibuat film yang diperankan oleh Tom Hanks, saya dan temen-temen sehobi seperbukuan *apeu lah ni* sempet ngenyek “ah males, palingan gak sebagus bukunya..” yang ternyata pas liat filmnya, malah jadi penasaran pengen masuk Louvre :P. Pas udah ada kesempatan ke Paris, lha malah gak jadi masuk ke Louvre -_- . Duh ini mayan sedih sih. Apa daya, hari kedua jam 4 sore kita udah harus siap-siap ke Brussel. Jadi ya sudah, saya relakan saja foto-foto mainstream di depan Louvre. Untuk info tiket dan jam operasional bisa langsung ke webnya https://www.louvre.fr/en/online-tickets
NOTRE DAME CATHEDRAL
Notre Dame Cathedral kebetulan deketan sama Louvre, cuma sekitar 15 menit ditempuh jalan kaki. Jadi tadinya mau diskip, tapi dimampirin sekalian aja. Sampai di sana, antrian yang masuk panjaaang banget. Pakcik suami yang lagi sakit demam tinggi tentu tidak bernafsu foto-foto, cuma duduk merhatiin istrinya sibuk mondar-mandir ambil video.
Karena saya putuskan tidak jadi masuk, saya hanya bisa mengagumi megahnya Notre Dame dari luar. Hal yang membuat Notre-Dame begitu terkenal sehingga menjadi salah satu bangunan ikonik di Paris adalah karena gereja katolik ini sudah berumur delapan abad, sudah dibangun sejak 1163 dan membutuhkan 200 tahun untuk menyelesaikan semua bangunannya. Selain itu, katanya ada beberapa relik yang mempunyai sejarah bagi umat katolik yang disimpan di gereja ini.
Bagi pengunjung yang tidak masuk ke dalam, explore di luar Notre Dame pun juga menyenangkan. Waktu itu musim semi baru dimulai, bunga-bunga bermekaran membuat Notre Dame semakin menawan. Notre Dame juga terletak di samping sungai Seine, sehingga banyak orang duduk-duduk di tepi Notre Dame sembari menikmati pemandangan Seine.
Beberapa hari setelah saya meninggalkan Paris, lihat di berita kalau Notre Dame kebakaran :'(. Tadinya gak percaya sih sampai saya lihat videonya di social media. Konon penyebab Notre Dame kebakaran karena ada kesalahan alur listrik di bagian bangunan yang direnovasi. Memang waktu saya berkunjung ada renovasi di beberapa bagian.
PONT DES ARTS – LOVE LOCKS BRIDGE & SEINE RIVER
Menyusuri jalan di tepi sungai Seine setelah mengunjungi Notre Dame, saya juga melewati jembatan Pont Des Arts yang terkenal dengan love locksnya. Tapi sejak tahun 2015, gembok-gembok yang terpasang di sepanjang jembatan Pont Des Arts telah mencapai 45 ton dan sudah dipindahkan oleh pemerintah prancis, karena berpotensi merusak bangunan jembatan.
Menurut info yang saya baca, bagian pagar jembatan yang terdapat gembok-gembok tersebut dilelang dan hasil dari lelangnya disumbangkan bagi pengungsi di Paris. Hasil jalan-jalan santai di tepi Seine ini, baru mulai kerasa bahwa I need more time buat Paris. Heuheu. Semacam cewe yang tadinya males-malesan ketemu cowok, pas udah ketemu kaya pengen ketemu lagi. Seandainya ada waktu lebih banyak, mungkin saya tak akan melewatkan naik perahu menyusuri Seine sembari menikmati bangunan-bangunan bersejarah di Paris.
Makan Apa Aja di Paris?
Sebenarnya banyak makanan khas Prancis yang bikin ngiler untuk dicoba, tapi beberapanya tentu hanya bisa disantap di restoran mahal. Mahal di Paris pastinya berlipat-lipat mahal daripada resto di Jakarta. Sekali makan di restoran biasa aja kira-kira 10 Euro per orang x 16.000 deh ya. Blm sama minum. Oiyes, minum di sana air lebih mahal daripada bir, syedi akutu.. Air sekitar 2-3 euro, kalau rajin-rajin convert eur di Eropa, bisa nangis, jadi kadang saya pura-pura amnesia dulu. Nah, escargot salah satu makanan yang konon berasal dari Paris sejarahnya. Tentu akyu skip aja, karena (i assume) cuma ada di resto mahal. Kayanya udah pernah nyoba kw nya di bandung, itu loh tutut alias keong sawah hahah #versimerakyatjelata.
MENIKMATI MAKANAN, TEH, KOPI DI CAFE PINGGIR JALAN
Walau demikian jangan khawatir, masih banyak makanan khas Prancis yang bisa disantap dengan harga terjangkau, malahan sebagian sudah sangat akrab di lidah orang Indonesia seperti croissant, macaroons, café au lait dan crepes. Di Eropa dan khususnya Paris itu terkenal dengan café-café cantik di pinggir jalan yang sayang banget kalau kita gak mencoba salah satunya jadi semacam buying experience :D.
Setelah dari Notre Dame, saya mampir ke salah satu resto dan sengaja pengen ngerasain duduk di luar. Penasaran kaya apa rasanya dan kenapa kok orang sana pada suka. Kalau di Jakarta jarang-jarang makan di resto duduk di luar siang-siang, karena bisa-bisa bedak berganti debu asap knalpot. Ternyata memang semenyenangkan itu sih. Liat orang lalu lalang sembari menikmati pemandangan. Saat itu bulan April, mungkin sebagian besar dari Parisian menikmati hangatnya matahari disela-sela angin dingin, dimana saya dan pakcik suami tetap kedinginan. Beberapa kali makan di resto waktu di Paris, biasanya juga disajikan Baguette atau roti panjang yang sudah dipotong-potong. Entahlah itu sebagai makanan pembuka atau makanan pendamping menu Utama. Baguette ini juga salah satu roti khas di Prancis. Sekali makan di resto paris berapa? Kalau pegalaman saya makan di Le Quasimodo Notre Dame sekitar 30 euro berdua. Ini resto-resto yang di pinggir jalan yah. Kopi di Paris sekitar 5 euro, makanan Utama sekitar 10-20 euro.
HOT CHOCOLATE & CAFE AU LAIT
Selepas lelah explore sekitar Eiffel waktu hari sudah gelap, pakcik suami minta ngopi biar anget. Terus dia keukeuh nyari restoran yang waktu itu dia pernah ngopi dengan latar belakang Eiffel. Makcik istri langsung menolak karena mon maap udah dingin, betis bekonde, males yhaa harus nyari-nyari resto toh selain resto yang suami cari, ada banyak pilihan di sekitar Eiffel. Akhirnya kami putuskan yang terdekat dari lokasi kami yaitu Le Bistro Parisien. Saking deketnya malah sampe susah dapet foto ngopi latar belakang Eiffel yang utuh :D. Di sini saya pesen Hot Chocolate, pakcik pesen Café Au Lait yang kalo diterjemahkan di bahasa Indonesia sih sebenarnya kopi susu, yang mirip dengan café latte (bedanya café latte dengan espresso, kalau café au lait dengan kopi hitam). Di Jakarta sendiri banyak kafe yang menyajikan kopi susu dengan bahasa Café Au Lait. Nah, mumpung di Paris, cobain deh!
BAKERY: CROISSANT, ECLAIRS, MACAROON
Wah ini sih wajib coba!. Kalau di Paris, ya siap-siap waktu lagi jalan banyak kecium wangi roti yang haruum banget. Waktu jalan menuju Louvre dari hotel, saya gak sengaja ngelewatin toko roti rame banget, namanya Brioche Dorée. Akhirnya kita cobain sekalian ceritanya sarapan ala-ala Parisian, roti & espresso. Bedanya waktu itu perut ndeso saya langsung mules. Biasa sarapan bubur, ini espresso :D. Anyway, saya memesan 1 buah Pain Au Chocolate yang rasanya… duh! Enaknya sampe ke ubun-ubun. Terlebih lagi saya itu emang penggemar pain au chocolate, bahkan kalau di Jakarta saja saya sering banget beli roti ini. Tak lupa saya juga mencicip Eclairs di toko roti lainnya, yang biasanya saya beli eclairs made in Holland Bakery :D, kemarin bener-bener ngerasain gimana sih rasanya eclairs di negara asalnya, hehe. Beberapa hari setelahnya, saat saya di German, gak disangka ketemu lagi toko Brioche Dorée pun ketika saya transit di Abu Dhabi. Ternyata Brioche Dorée bakery yang lumayan punya banyak cabang, mungkin semacam bread talk kitu kalo di Indonesia.
Transportasi di Paris
Dari Bandara Charles De Gaulle ke hotel viviene, saya naik Roissy Bus tujuan Opera. Tiket beli di machine tiket di bandara. Keselnya waktu sampe kan belum ada koin-koin euro, sementara mesinnya cuma nerima koin dan credit card. Jadilah terpaksa belum apa-apa udah gesek credit card. Untuk info transportasi dari Airport Charled De Gaulle bisa nyontek di sini
Selama explore Paris sendiri, saya lebih sering kemana-mana jalan kaki yang untungnya hampir semua itinerary deket dari hotel, kecuali waktu ke Eiffel memang ditempuh pakai Metro/Subway. Tiketnya saya selalu beli ngeteng/ tiket satuan aja yang bisa dibeli setiap di station. Di ticket machine untungnya ada pilihan Bahasa inggris dan jelas banget panduan kita mau kemana, harganya berapa. Tiket ngeteng atau satuan itu namanya T+ ticket yang bisa juga dipakai untuk Bus, Metro, RER. T+ ticket ini ada durasinya, misalnya untuk Metro berlaku dua jam. Jadi misalnya saya beli 1 T+ ticket untuk ke Notre Dame, di sana saya hanya menghabiskan waktu 1 jam, tiket T+ tadi masih bisa dipakai ke tujuan selanjutnya karena belum lewat 2 jam. Durasinya berbeda-beda untuk setiap armada transportasi yang bisa dicek di sini https://www.ratp.fr/en/titres-et-tarifs/t-tickets
Shopping di Paris
To be honest, mbayangin belanja di Paris itu bikin dompet beta mules, jadi tak pernah aku berniat membeli sesuatu di Paris. Sempet terbesit pengen ke La Village Outlet di Paris, yang katanya menjual Longchamp lebih murah. Terbesit juga sekelebat niat “aha, apa buka jastip nih ya?”, lalu teringat koper satu-satunya yang akan ikut pindah-pindah Negara ala amazing race. Jadi, saya padamkan niat yang menggebu-gebu itu dan kembali menjadi kategori rakyat rojali alias ‘rombongan jarang beli’. Padahal yah, penginapan saya tu ternyata area belanja juga, dekat pula dengan Galeries Lafayette, Rue De Rivoli dan Boulevard Montmartre, tempat yang terkenal juga buat belanja. Icon shopping spot lainnya di Paris, apalagi kalau bukan Champs-Élysées yang mana saya lewatkan mengunjunginya :D. Konsisten berhemat di hari-hari pertama, saya cuma beli beberapa souvenir dan topi di area Notre-Dame. Suprisingly, harga souvenirnya jauh lebih murah di sekitar Notre-Dame yang touristy daripada di Boulevard Montmartre yang juga berjejer toko-toko souvenir. Topi yang saya beli sekitar 3 euro saja, padahal di Boulevard Montmartre dijual seharga 10 euro.
Mon maap nih, katanya singkat aja tentang Paris, tapi jadi banyak juga tulisannya ehehehe. Tapi, kalau ditanya mau gak ngulang lagi ke Prancis, yha mauu! Mungkin Nice atau explore ke villages cantik kayak Eguisheim ^,^
Oleh-oleh video pendek perjalanan di Paris, sekalian ngetest performa DJI Osmo Pocket (minjem :D) buat cinematic ala-ala.